Rabu, 20 Februari 2013

IKHLAS DALAM ISLAM


Assalamu’ alaikum to all my visitors. Tahukah kalian syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas sebagaimana diterangkan dalam ayat Al Qur'an (QS. Az Zumar: 65)," Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu." Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang riya’ atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya setan. Syaitan berkata,” Ya Tuhanku, oleh karena Engkau telah menetapkanku sesat, sungguh akan kuusahakan agar anak manusia memandang indah segala yang tampak di bumi dan aku akan sesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hambaMu dari antara mereka yang ikhlas(Al-Hijr: 39-40).
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.Tetapi banyak dari kita yang beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan dengan sikap riya’ atau sombong supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh Allah SWT.

Arti Dari Ikhlas

Secara bahasa, Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian Si Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu Ghayaatunaa”, yang artinya Allah adalah tujuan kami, dalam segala aktivitas dalam mengisi kehidupan.

Kedudukan Ikhlas

Rasulullah SAW. Pernah bersabda, “ Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit.” Dalam hadist lain Rasulullah SAW. bersabda,“ Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya,“ Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini,“ Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata,“ Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Dari beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah.

Ciri-Ciri Orang Ikhlas

1. Terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia atau sendiri. Disebutkan dalam hadits,“ Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
2. Senantiasa beramal di jalan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang orang lain, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,“ Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
3. Selalu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Pengelompokan Ikhlas

1. Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramal karena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqamah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnyapun akan berhenti.
2. Ikhlas Abid : Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih dari riya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan, tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
3. Ikhlas Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.
4. Ikhlas Arif, yaitu orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Semuanya berjalan atas kehendak Allah.

Manfaat dan Keutamaan Ikhlas

1. Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram
2. Amal ibadahnya akan diterima oleh Allah SWT.
3. Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.
4. Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah SWT.
5. Doa kita akan diijabah.
6. Dekat dengan pertolongan Allah.
7. Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
8. Akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat.
9. Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat ke jalan yang salah.
10. Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid
11. Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain
12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT)

Cara Mencapai Ikhlas

Cara agar kita dapat mancapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran dissat kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan ras riya’ atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah dengan cara di atas anda dapat mencapai ikhlas. Dan jangan lupa untuk berdoa memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas untuk-Nya, sebagaimana do’ a Nabi Ibrahim a.s,” Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77). Wassalamu’ alaikum wr. wb.

Jumat, 15 Februari 2013

Iman di dalam Diri Sang Ihsan Muslim


           



Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)

Keteladanan mulia melimpah pada diri Rasulullah SAW. Beliau ibarat istana yang di dalamnya penuh dengan perhiasan, mutiara dan mutu manikam. Segenap perhiasan yang melimpah tersebut sengaja disediakan dan boleh dinikmati serta dikenakan oleh siapapun untuk menghiasi dirinya. Tentunya bagi mereka yang mampu memasuki gerbang istana tersebut. Setiap gerbang pasti ada kuncinya, maka siapapun yang memiliki kunci pembuka itu akan mudah menikmati gemerlapnya perhiasan yang tersedia.

Demikianlah Rasulullah Saw. Dalam diri beliau tersedia keteladanan melimpah yang bisa diambil dan dijadikan penghias akhlak bagi siapapun. Namun, apakah semua orang bisa dengan mudah menggapai keteladanan itu dan menjadikannya sebagai penghias diri dalam mengarungi kehidupan di dunia ini? Atau ada kunci khusus?

Kalau kita perhatikan ayat pembuka di atas, ayat tersebut dibuka dengan dua kata penguat,"Qad" dan "Lam" taukid. Keduanya berfungsi menguatkan dan menegaskan makna. Padahal dengan satu taukid (penguat) saja dalam sebuah kalimat sudah menegaskan maknanya. Tambahan kata "sungguh" yang kita gunakan tentunya untuk lebih meyakinkan kepada orang yang bertanya dan untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya.

Ayat di atas memberikan kesan bahwa kita ini ragu dengan informasi yang Allah berikan melalui ayat di atas, yaitu bahwa Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik untuk kita. Benarkah kita ragu? Atau betulkah ada yang meragukan bahwa Rasulullah Saw. adalah teladan yang terbaik? Secara pemikiran dan kajian akademik semua percaya, semua mengakui, baik lawan maupun kawan. Jadi dimanakah letak keraguan itu? Bukan pada pemahaman, akan tetapi pada tingkat ekspresi dari yang diyakini serta prilaku yang ditunjukkan.

Sebagai contoh, kalimat yang diucapkan seorang dokter, "Sungguh, olahraga itu sangat berguna bagi kesehatan kita." Apakah kita tidak percaya dengan informasi tersebut? Kita semua secara pemikiran tidak satupun yang meragukannya, namun apakah setiap kita berolah raga dengan serius demi menjaga kesehatan.

Demikianlah, kita percaya namun kepercayaan itu mirip dengan keragu-raguan. Demikian pula tentang keteladanan yang adapad diri Rasulullah Saw. Semua yakin akan hal itu. Namun, dalam kenyataaanya banyak yang tidak benar-benar yakin karena prilakunya tidak menunjukkan hal tersebut. Kalau memang benar-benar yakin maka ia akan mengambil keteladanan itu dan menjadikannya sebagai bagian dari karakter diri.

Ternyata mengambil keteladanan Rasulullah Saw. tidak mudah

Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini menunjukkan realita yang demikian. Rasulullah Saw adalah pribadi yang terpercaya bahkan sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Namun kejujuran dan amanah menjadi barang langka. Beliau adalah pribadi yang sangat adil, baik dengan dirinya, keluarga bahkan dengan masyarakatnya.

Namun banyak di antara kita yang tidak bisa bersikap adil bahkan kepada diri kita sendiri. Masih banyak pemberitaan tentang KDRT yang merupakan cerminan hilangnya keadilan dalam rumah tangga, karena lawan dari keadilan adalah kezhaliman. Masih banyak rakyat yang mengeluhkan minimnya keadilan.

Rasulullah Saw. sangat lembut, santun dan begitu bijak, namun banyak kita temukan sikap-sikap kasar terjadi dalam bermuamalah antar sesama. Bukankah beliau teladan yang terbaik untuk kita? Namun mengapa keteladanan itu terasa sulit untuk kita jadikan karakter diri kita. Rasulullah Saw sedikit tidur namun kita sedikit-sedikit tidur. Rasulullah sedikit makan, namun kita sedikit-sedikit makan. Rasulullah sedikit bercanda, kita sedikit-sedikit bercanda. Kita sedikit beribadah, Rasulullah sedikit-sedikit beribadah.

Kunci Pembuka Keteladanan Rasulullah Saw.

Ada tiga hal yang akan menjadi kunci bagi kita untuk membuka gerbang istana yang didalamnya terdapat keindahan keteladanan Rasulullah Saw.

1. Berharap hanya kepada Allah

Orang-orang yang selalu berharap kepada Allah swt, tidak akan menyibukkan dirinya dengan pujian-pujian dari manusia lain terhadap apa yang telah ia lakukan. Ia hanya berharap kebaikan dari Allah sebagai balasan kebaikannya. Ketika ia beramal maka pahala dari Allah - lah harapannya, jika ia berkarya demi kemaslahatan bersama maka cinta dari Allah - lah yang menjadi dambaannya.

Jadi setiap insan yang berharap kepada Allah swt, akan lebih mudah melakukan kebaikan karena ia hanya berharap balasan dari Allah, bukan dari manusia lain. Dan ini menjadikannya dapat mengambil keteladanan Rasulullah dalam melakukan amalan yang baik serta meninggalkan keburukan. Allah swt berfirman,

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."(QS Al Kahfi : 110)

2. Berharap akan kedatangan akhirat.

Ketika mendengar kata akhirat maka yang ada dalam benak kita adalah Surga dan Neraka. Inilah akhir perjalanan kita kelak. Maka orang yang berharap akan akhiratnya, tentuny mereka adalah orang yang mengidamkan surga.

Pribadi yang senantiasa mengharapkan kehidupan baik di akhirat, maka akan mudah baginya untuk berbuat kebaikan, dan ia akan terjaga dari perbuatan buruk yang bisa saja dilakukannya. Ketika ia akan melakukan perbuatan buruk, berlaku curang, perbuatan keji, dan mungkar, maka ia akan teringat bahwa ini akan mengantarkannya pada adzab Allah yang begitu pedih di neraka, serta merta ia akan membatalkan untuk melakukan perbuatan tersebut.

Demikianlah, mereka yang memiliki kunci kedua ini akan mudah meneladani Rasulullah Saw.

3. Banyak berdzikir kepada Allah

Banyak di antara kita yang setiap harinya berdzikir, sehabis shalat atau di waktu-waktu tertentu. Bahkan ada juga yang menentukan jumlah yang begitu banyak, misal 1001 kali atau 333 kali. Tentunya bukan sekedar jumlah atau waktu yang kita habiskan untuk dzikir kepada Allah, melainkan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan dzikir yang berkualitas. 

Dzikir yang berkualitas jika makna dzikir kepada Allah itu menjadikan kita ingat kepada Allah dalam setiap perbuatan kita. Dan ini menjadikan kita dapat mengambil teladan dari Rasulullah Saw. Misal dzikir kita kepada Allah dengan asmanya, As Samii' dan Al 'Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Dengan memaknai dzikir ini dalam setiap perbuatan kita, maka kita akan merasa selalu diawasi dan kita selalu berusaha untuk melakukan amal yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Wallahu 'alam bish showab